Live!

Tampilkan postingan dengan label Rekaman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rekaman. Tampilkan semua postingan

Tujuan Kegiatan Pawai Obor

Kegiatan pawai obor umumnya diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan dan memberikan berbagai manfaat bagi peserta, penyelenggara, dan masyarakat secara umum. 





 Memperkuat Identitas Budaya dan Kebanggaan Komunitas: Pawai obor sering kali menjadi sarana untuk mempertahankan dan merayakan identitas budaya suatu komunitas atau kelompok. Melalui kegiatan ini, diharapkan masyarakat dapat merasa lebih bangga dan terhubung dengan warisan budaya mereka.
 Menggalang Kebajikan dan Solidaritas Sosial: Beberapa pawai obor diadakan sebagai kegiatan amal untuk menggalang dana bagi kegiatan sosial atau membantu mereka yang membutuhkan. Ini mencerminkan nilai-nilai solidaritas sosial dan kepedulian terhadap sesama dalam komunitas.
 Meningkatkan Keterlibatan dan Partisipasi Masyarakat: Acara pawai obor dapat menjadi kesempatan untuk melibatkan lebih banyak warga dalam kegiatan komunitas. Partisipasi aktif dalam acara semacam ini dapat memperkuat jalinan sosial antarwarga dan meningkatkan rasa kepemilikan terhadap kegiatan bersama.
 Pendidikan dan Penyadaran Publik: Pawai obor juga bisa menjadi platform untuk menyampaikan pesan-pesan penting, baik itu terkait dengan kebudayaan, agama, lingkungan, atau isu-isu sosial. Melalui pawai obor, informasi atau nilai-nilai tertentu dapat disebarkan kepada masyarakat dengan cara yang menarik dan menantang.
 Peningkatan Pariwisata dan Pengembangan Ekonomi Lokal: Di beberapa tempat, pawai obor dapat menjadi daya tarik pariwisata yang signifikan. Kehadiran wisatawan dapat memberikan dampak ekonomi positif bagi lokalitas yang menyelenggarakan acara ini, seperti peningkatan kunjungan wisata dan pengembangan industri pariwisata.
 Menghibur dan Mencerahkan Masyarakat: Terakhir, pawai obor juga diharapkan dapat memberikan hiburan dan kesenangan bagi masyarakat. Dengan menampilkan berbagai atraksi, musik, dan tarian, kegiatan ini dapat menjadi momen menyenangkan untuk mengumpulkan orang-orang dan merayakan bersama.
 

Harapan-harapan ini mencerminkan berbagai tujuan yang dapat dikejar oleh penyelenggara dan peserta pawai obor, dengan tujuan akhir untuk memperkuat komunitas, mempromosikan nilai-nilai positif, dan merayakan keberagaman budaya serta tradisi lokal.

 

Selamat Tahun Baru Islam 1446H

Meraih Taqwa Melalui Ibadah Qurban ( Idul Adha 1446H )




 


 

 

InsyaAllah sudah masuk bulan Dzulhijjah. Dengan ditetapkannya awal Dzulhijah ini, maka Hari Raya Idul Adha 1446 H akan berlangsung pada Jum'at, 06 Juni 2025.

bagi Bapak/Ibu yang sudah berniat menunaikan qurban jangan lupa ada larangan potong rambut dan kuku sejak tanggal 1 hingga nanti hewan qurban di sembelih. Ini hukumnya adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), bila dilanggar tidak termasuk melakukan yang haram, tetapi makruh tanzih. (Al-Mu'tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 2:487)

Pelajaran Menarik Tentang Surat al-Mukminun Ayat 1-11

   

قَدْ أَفْلَحَ ٱلْمُؤْمِنُونَ

 

 qad aflaḥal-mu`minụn

    Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
    — Surat Al-Mu’minun Ayat 1

   
ٱلَّذِينَ هُمْ فِى صَلَاتِهِمْ خَٰشِعُونَ
allażīna hum fī ṣalātihim khāsyi'ụn

    Artinya: (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,
    — Surat Al-Mu’minun Ayat 2



Didapatkan aneka ragam penafsiran dari para ahli ilmu terhadap isi surat al-mukminun ayat 1-11, antara lain seperti berikut:

Yaitu orang-orang yang di antara sifat mereka adalah bahwasanya mereka itu orang-orang yang khusyu’ dalam shalat mereka, hati mereka focus untuknya dan anggota tubuh mereka tenang di dalamnya. (Tafsir al-Muyassar)

Mereka adalah orang-orang yang tunduk dalam salatnya, anggota tubuh mereka senantiasa tenang ketika salat, dan hati mereka kosong dari berbagai kesibukan dunia. (Tafsir al-Mukhtashar)

Yaitu orang-orang yang khusyu´ dalam shalatnya, pasrah dan berserah diri, merendahkan diri di hadapan Allah disertai dengan rasa takut dan kedamaian (Tafsir al-Wajiz)

الَّذِينَ هُمْ فِى صَلَاتِهِمْ خٰشِعُونَ ((yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya) Makna khusyu’ dalam shalat adalah merendahkan diri dan tunduk di hadapan Allah. Dan pendapat lain mengatakan maknanya adalah tenang dan tidak melakukan hal yang tidak berhubungan dengan shalat. (Zubdatut Tafsir)



    وَٱلَّذِينَ هُمْ عَنِ ٱللَّغْوِ مُعْرِضُونَ

wallażīna hum 'anil-lagwi mu'riḍụn

    Artinya: dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,
    — Surat Al-Mu’minun Ayat 3

Dan orang-orang yang meninggalkan segala sesuatu yang tidak ada kebaikan padanya dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan. (Tafsir al-Muyassar)

Dan orang-orang yang berpaling dan menjauhkan diri dari kebatilan, kesia-siaan, dan perbuatan atau perkataan yang mengandung maksiat. (Tafsir al-Mukhtashar)

Serta orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna, (Tafsir al-Wajiz)

وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna) Makna (اللغو) adalah segala perkataan dan perbuatan sia-sia, senda gurau, maksiat, dan tidak baik. Dan berpaling dari perkataan dan perbuatan ini adalah dengan menjauhinya dan tidak menengok kepadanya. (Zubdatut Tafsir)



    وَٱلَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَوٰةِ فَٰعِلُونَ

wallażīna hum liz-zakāti fā'ilụn

    Artinya: dan orang-orang yang menunaikan zakat,
    — Surat Al-Mu’minun Ayat 4

Dan orang-orang yang membersihkan jiwa dan harta mereka dengan membayarkan zakat harta mereka yang berbeda-beda jenis bentuknya. (Tafsir al-Muyassar)

Dan orang-orang yang mensucikan diri mereka dari berbagai sifat buruk, dan mensucikan harta mereka dari yang haram dengan menunaikan zakat. (Tafsir al-Mukhtashar)

Serta orang-orang yang menunaikan kewajiban (zakat) dengan mengharap-harap kebaikan dan penyucian jiwa. Yaitu melakukan kewajiban yang telah diperintahkan Allah, bukan berarti bahwa makna zakat adalah berupa uang. Sebab tidak ada redaksi bahwa Fulan telah mengeluarkan uang. Namun Fulan telah melakukan kebaikan dan atau keburukan. (Tafsir al-Wajiz)

وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَوٰةِ فٰعِلُونَ (dan orang-orang yang menunaikan zakat) Yang dimaksud dengan zakat di sini adalah sedekah dan segala manfaat yang diberikan kepada seorang muslim. (Zubdatut Tafsir)

   

وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَٰفِظُونَ
wallażīna hum lifurụjihim ḥāfiẓụn

    Artinya: dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
    — Surat Al-Mu’minun Ayat 5

Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka dari perkara yang diharamkan oleh Allah, seperti perbuatan zina, homoseks, dan seluruh perbuatan keji lainnya. (Tafsir al-Muyassar)

Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya dengan menjauhkan diri dari perbuatan zina, homoseksual, dan perbuatan keji lainnya. Mereka adalah orang-orang yang menjaga diri dari maksiat lagi suci. (Tafsir al-Mukhtashar)

Serta orang-orang yang menjaga kemaluannya dari keharaman, dengan menjaga diri dari keharaman dan menahan diri dari perbuatan kemunkaran/keharaman. Alfarju aurat/kemaluan laki-laki dan perempuan. (Tafsir al-Wajiz)

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حٰفِظُونَ (dan orang-orang yang menjaga kemaluannya) Yakni menahan diri dari apa yang tidak halal bagi mereka untuk menjaga kehormatan mereka. (Zubdatut Tafsir)

   
إِلَّا عَلَىٰٓ أَزْوَٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
illā 'alā azwājihim au mā malakat aimānuhum fa innahum gairu malụmīn

    Artinya: kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
    — Surat Al-Mu’minun Ayat 6

Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak perempuan yang mereka miliki. Maka tidak ada celaan dan tidak ada dosa atas mereka untuk menggauli wanita-wanita itu dan bersenang-senang dengan mereka; sebab sesungguhnya Allah telah menghalalkan wanita-wanita itu. (Tafsir al-Muyassar)

Kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya wanita yang mereka miliki, sebab mereka tidak tercela bila berhubungan badan atau bercumbu dengan mereka. (Tafsir al-Mukhtashar)

Kecuali terhadap isteri-isteri mereka setelah melakukan akad sesuai syariat. Atau juga budak yang mereka miliki; yaitu budak perempuan, sebab pada zaman dahulu perbudakan adalah suatu yang umum. Sumber/asal muasal perbudakan adalah peperangan sehingga pemimpin menjadikan perempuan sebagai budak dengan perlakuan layaknya hubungan suami isteri. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela, yaitu menyetubuhi. Sebab diperbolehkannya menyetubuhi isteri adalah adanya akad, namun jika budak perempuan sang majikan berhak mengambil manfaat, mengawasi, maupun menyetubuhi (Tafsir al-Wajiz)

إِلَّا عَلَىٰٓ أَزْوٰجِهِمْ (kecuali terhadap isteri-isteri mereka) Yakni mereka akan tercela jika melakukan apa yang dilarang bagi mereka, dan mereka diperintah untuk menjauhinya kecuali pada istri-istri mereka maka mereka tidak harus menjaga kemaluan mereka, dan mereka tidak akan tercela jika melakukannya dengan istri-istri mereka. أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمٰنُهُمْ (atau budak yang mereka miliki) Yakni budak-budak wanita yang hanya milik mereka, maka mereka boleh berhubungan dengan mereka selama tidak ada larangan syari’at yang melarang itu seperti jika budak perempuan itu adalah saudara perempuannya sesusuan. فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ(maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela) Yakni dalam hal tidak menjaga kemaluan mereka terhadap istri-istri dan budak-budak wanita mereka, namun mereka akan tercela jika melakukannya terhadap mereka. (Zubdatut Tafsir)

   
فَمَنِ ٱبْتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْعَادُونَ
fa manibtagā warā`a żālika fa ulā`ika humul-'ādụn

    Artinya: Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
    — Surat Al-Mu’minun Ayat 7

Maka barangsiapa mencari kenikmatan dengan selain istri atau budak perempuannya, maka dia termasuk orang-orang yang melakukan tindakan melampaui batas yang halal menuju yang haram. Dan sesungguhnya dia telah menghadapkan dirinya pada ancaman siksaan Allah dan kemurkaanNya. (Tafsir al-Muyassar)

Namun, barangsiapa mencari kenikmatan melalui hubungan badan dengan selain istri-istri atau hamba sahaya wanita yang ia miliki, maka ia telah melampaui batasan Allah karena meninggalkan yang halal dan menggantinya dengan yang haram. (Tafsir al-Mukhtashar)

Barangsiapa menghendaki di luar isteri dan budak perempuan itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas aturan Allah. (Tafsir al-Wajiz)

فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَآءَ ذٰلِكَ فَأُو۟لٰٓئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas) Yakni barangsiapa yang melakukannya terhadap selain istri dan budak wanita mereka maka ia adalah orang yang melampaui batas, zalim, dan berdosa. (Zubdatut Tafsir)

   
وَٱلَّذِينَ هُمْ لِأَمَٰنَٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَٰعُونَ
wallażīna hum li`amānātihim wa 'ahdihim rā'ụn

    Artinya: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
    — Surat Al-Mu’minun Ayat 8

Dan orang-orang yang menjaga semua apa yang dipercayakan kepada mereka, juga memenuhi setiap janji-janji mereka. (Tafsir al-Muyassar)

Dan orang-orang yang memelihara amanah Allah dan amanah para hamba-Nya. Mereka juga memelihara janji, tidak mengkhianatinya, tetapi sealiknya memenuhinya secara sempurna. (Tafsir al-Mukhtashar)

Serta orang-orang yang menjaga dan merealisasikan amanah dan janji yang menjadi tanggung jawabnya. Amanah adalah tanggung jawab syariat ataupun harta yang dipasrahkan kepada seseorang untuk menjaganya. ‘Ahdu segala sesuatu yang harus dipenuhi atau dilakukan seseorang. Dari sisi janji kepada Allah adalah melaksanakan shalat, adapun dari sisi sesama makhluk adalah kesepakatan/janji. (Tafsir al-Wajiz)

وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمٰنٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رٰعُونَ (Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya) Makna (الأمانة) di sini adalah apa yang diamanatkan kepada seseorang yang tidak disertai bukti atau hujjah untuk memastikannya kecuali dengan kesaksian Allah, seperti orang yang mendapat titipan, orang yang berhutang tanpa bukti, ayah atau wali-wali terhadap anak kecil yang ia pelihara, dan orang islam dalam shalat, puasa, dan bersuci. Makna (العهد) adalah apa yang mereka sepakati dengan Allah atau dengan orang lain. Makna (الراعون) adalah orang-orang yang senantiasa menjaganya. (Zubdatut Tafsir)

   
وَٱلَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَوَٰتِهِمْ يُحَافِظُونَ
wallażīna hum 'alā ṣalawātihim yuḥāfiẓụn

    Artinya: dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.
    — Surat Al-Mu’minun Ayat 9

Dan orang-orang yang senantiasa tekun menjalankan shalat mereka pada waktu-waktunya sesuai dengan tata caranya yang disyariatkan yang bersumber dari Nabi. (Tafsir al-Muyassar)

Dan orang-orang yang memelihara salatnya dengan cara konsisten mengerjakannya, dan mengerjakannya tepat pada waktunya dengan menyempurnakan rukun-rukun, wajib-wajib dan sunnah-sunnahnya. (Tafsir al-Mukhtashar)

Serta orang-orang yang memelihara/menjaga sembahyangnya dengan menyempurnakan rukun, dan waktu pelaksanaannya (Tafsir al-Wajiz)

وَالَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَوٰتِهِمْ يُحَافِظُونَ (dan orang-orang yang memelihara shalatnya) Dengan mendirikannya pada waktunya, menyempurnakan ruku’, sujud, bacaan, dan zikir-zikirnya. (Zubdatut Tafsir)

 









Baca Juga : Hikmah Qurban - Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail



   

أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْوَٰرِثُونَ
ulā`ika humul-wāriṡụn

    Artinya: Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,
    — Surat Al-Mu’minun Ayat 10

Orang-orang Mukmin itu, merekalah orang-orang yang mewarisi surga. (Tafsir al-Muyassar)

Orang-orang yang memiliki karakteristik seperti ini, mereka lah orang-orang yang akan menjadi para pewaris. (Tafsir al-Mukhtashar)

Mereka yang mempunyai sifat-sifat itulah yang akan mewarisi surga. (Tafsir al-Wajiz)

أُو۟لٰٓئِكَ هُمُ الْوٰرِثُونَ (Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi) Yakni orang-orang yang berhak untuk menjadi pewarisnya. (Zubdatut Tafsir)

   
ٱلَّذِينَ يَرِثُونَ ٱلْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ
allażīna yariṡụnal-firdaụs, hum fīhā khālidụn

    Artinya: (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.
    — Surat Al-Mu’minun Ayat 11

yaitu orang-orang yang mewarisi tempat yang paling tinggi dan paling tengah di surga, dan ini adalah tempat yang paling utama di surga. Mereka kekal abadi di dalamnya,kenikmatan mereka tidak berhenti dan tidak sirna. (Tafsir al-Muyassar)

Yakni mereka akan mewarisi derajat Surga tertinggi. Mereka akan menetap kekal di dalamnya. Kenikmatan yang mereka raih tak akan pernah terputus. (Tafsir al-Mukhtashar)

Yaitu orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya, dan tidak akan keluar darinya (Tafsir al-Wajiz)

الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ ((yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus) Yakni surga yang paling tengah dan paling tinggi. Terdapat pendapat mengatakan bahwa mereka mewarisi tempat tinggal di surga dari orang-orang kafir, sebab Allah menciptakan tempat tinggal di surga dan tempat tinggal di neraka bagi seluruh manusia. Wallahu a’lam. هُمْ فِيهَا خٰلِدُونَ (Mereka kekal di dalamnya) Mereka terus-menerus di dalamnya, tidak akan keluar dantidak akan mati. (Zubdatut Tafsir)

 



<< Referensi : tafsirweb.com

Memperbanyak Takbir di Hari-Hari Terbaik

Ummatal Islam,

Di hari ini kita berada di hari Idul Adha yang merupakan hari terbaik di dunia. Sebagaimana dikeluarkan Imam Ath-Thobroni dan dihasankan oleh Syaikh Albani Rahimahullah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

افضل ايام الدنيا يوم النحر ويوم القر

“Hari-hari dunia yang paling utama yaitu hari menyembelih (hari ini tanggal 10 bulan Dzulhijjah) dan hari setelahnya (tanggal 11)”

Berarti ini menunjukkan bahwa hari ini adalah hari yang paling paling utama di dunia ini dan kemudian hari setelahnya. Maka 10 hari awal bulan Dzulhijjah yang paling utama adalah di hari ini. Dan kita disyariatkan untuk memperbanyak takbir, membesarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dimana takbir akan terus disyariatkan sampai tanggal 13 bulan Dzulhijjah. Dimana takbir -kata para ulama- dengan ijma’ mereka ada dua macam. Yang pertama disebut dengan takbir mutlak. Yaitu kita bertakbir kapan saja dan dimana saja. Kemudian yang kedua yaitu takbir muqayyad. Yaitu yang terikat setelah selesai shalat.

Adapun takbir mutlak, maka dianjurkan dari tanggal 1 sampai tanggal 13 bulan Dzulhijjah. Adapun takbir muqayyad, maka dianjurkan dari tanggal 9 (yaitu hari Arafah) setelah shalat subuh sampai tanggal 13 bulan Dzulhijjah setelah shalat ashar.

Kita memperbanyak takbir di hari-hari ini, sebagaimana dahulu para sahabat memperbanyak takbir. Bahkan ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun di haji wada’ pun, di hari-hari Mina, mereka memperbanyak takbir. Sehingga Mina bergemuruh dengan takbir. Maka kita pun senantiasa bertakbir membesarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.







Baca Juga : Hikmah Qurban - Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail


Hakikat takbir adalah mengagungkan Allah, membesarkan Allah, bukan hanya sebatas di lisan-lisan kita. Tapi membesarkan Allah dengan hati kita, merasakan akan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengagungkannya seagung-agungnya.


Ketika kita merasakan kebesaran Allah di hati kita, itulah yang akan menimbulkan rasa takut kepada Allah, rasa tunduk kepada Allah, rasa tadharru’ kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang mengagungkan Allah, dia tidak akan berani berbuat maksiat di hadapanNya walaupun dia ketika sendirian. Karena ia tahu bahwasanya Rabbnya senantiasa mengawasinya dimanapun ia berada.


Mari Simak selengkapnya penjelasan mengenai Memperbanyak Takbir di Hari-Hari Terbaik disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.  :



 <<SUMBER

Penjelasan Singkat Keutamaan Puasa Syawal dan Puasa Bulan Dzulhijjah

Dan sahabat Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:


مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang puasa Ramadhan kemudian ia mengikutinya dengan puasa 6 hari dibulan Syawal maka seakan-akan ia puasa sepanjang tahun.”


Penjelasan Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr :

Penulis kitab ini Rahimahullah menyebutkan hadits yang berkenaan dengan keutamaan puasa 6 hari dibulan Syawal. Dan hadits ini adalah hadits yang shahih, benar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak perlu kita menoleh kepada orang-orang yang meragukan kebenaran hadits ini. Karena hadits ini adalah hadits yang shahih (benar) tentang keutamaan puasa 6 hari dibulan Syawal dan tidak disyaratkan 6 hari ini dilakukan secara terus-menerus. Akan tetapi boleh dipisah. Bisa dilakukan di awal Syawal atau di pertengahan Syawal atau di akhir Syawal, maka tidak mengapa. Yang penting puasa 6 hari tersebut semuanya di bulan Syawal.


Nabi kita ‘Alaihish Shalatu was Salam menyebutkan pahala yang besar ini dengan mengatakan:


مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang puasa Ramadhan kemudian ia mengikutinya dengan puasa 6 hari dibulan Syawal maka seakan-akan ia puasa sepanjang tahun.”


Hal ini dikarenakan satu kebaikan akan ditulis pahala 10 kebaikan dan satu tahun jumlah harinya adalah sebanyak 360 hari. Maka puasa Ramadhan sebanding dengan puasa 300 hari. Karena satu kebaikan dituliskan 10 pahala dan puasa 6 hari dibulan Syawal sebanding dengan puasa 60 hari. Karena satu kebaikan yang dikerjakan maka pahalanya ditulis dengan 10 kebaikan.


Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Maka seakan-akan ia puasa sepanjang tahun.” Karena apabila ada seorang yang setiap tahun ia berpuasa Ramadhan kemudian puasa 6 hari dibulan Syawal maka seakan-akan sepanjang zaman ia berpuasa. Karena satu kebaikan pahalanya adalah 10 kebaikan.












Baca Juga : Tentang Puasa Muharram


KEUTAMAAN 10 HARI PERTAMA DI BULAN DZULHIJJAH

Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:


مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ


“‘Tidak ada hari-hari yang amal shalih pada hari-hari tersebut lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melebihi 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah’ Maka para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah amal tersebut lebih baik dibandingkan dengan jihad dijalan Allah Ta’ala?’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Amal shalih pada hari-hari tersebut lebih utama daripada berjihad dijalan Allah, kecuali seorang yang keluar berjihad membawa hartanya dan berangkat sendiri berjihad dan tidak kembali lagi.'” (HR. Bukhari)


Penjelasan Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr :

Penulis kitab ini Rahimahullah menyebutkan hadits yang umum tentang keutamaan amal shalih pada 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah. Dan penyebutan hadits ini dalam bab keutamaan puasa karena diantara bentuk amal shalih yang dianjurkan untuk dikerjakan pada 10 pertama di bulan Dzulhijjah yaitu berpuasa. Karena puasa adalah salah satu amal shalih. 


Mari Simak selengkapnya Penjelasan Singkat Keutamaan Puasa Syawal dan Puasa Bulan Dzulhijjah adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Kifayatul Muta’abbid wa Tuhfatul Mutazahhid. Pembahasan ini disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr pada 29 Shafar 1441 H / 28 Oktober 2019 M.:



<<SUMBER


Keistimewaan Bulan Rajab Menurut Islam

Ummatal Islam,

Kita berada dibulan yang mulia, bulan Rajab. Salah satu bulan yang haram. Allah Ta’ala berfirman:



إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّـهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّـهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ


“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya” (QS. At-Taubah[9]: 36)




Artinya, perbuatan dzalim yang kita lakukan dibulan-bulan haram, maka dosanya dilipatgandakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka hormatilah bulan-bulan haram ini.

Jika dahulu masyarakat Jahiliyah sebelum Islam dizaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka sangat mengagungkan bulan-bulan haram karena ia adalah merupakan syariat Ibrahim ‘Alaihish Shalatu was Salam, maka ini adalah syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai syariat untuk kita semuanya. Ia adalah bulan Rajab, demikian pula bulan Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan bulan Muharram.


Baca Juga : Keutamaan bulan sya’ban

 

Kita berada dibulan yang mulia, bulan Rajab,

maka kita berusaha untuk mengagungkan dan memuliakan bulan ini. Dengan cara apa? Yaitu dengan cara kita menjauhi berbagai macam kedzaliman dan dosa. Karena perbuatan dzalim dibulan ini akan dilipatgandakan dosanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak seperti dibulan-bulan yang lainnya. Karena ia adalah bulan yang mulia.

Para ulama berkata bahwa amalan shalih yang bertepatan dengan waktu yang mulia akan dilipatgandakan pahalanya. Demikian pula amalan keburukan, dosanya pun akan dilipatgandakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mari Simak selengkapnya kajian Islam ilmiah Keistimewaan Bulan Rajab Menurut Islam yang disampaikan rekaman khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. :



<<SUMBER

Kisah Kelahiran Nabi Muhammad dan Persusuan Beliau

















Pada ceramah sebelumnya, kita telah sampai pada hari lahirnya Nabi Muhammad SAW kemudian tentang kisah persusuan Nabi Muhammad SAW.

Rasulullah  S.A.W.  lahir pada tahun Fiil, pada bulan Rabi’ul Awal, walaupun ada pendapat lain yang menyebutkan lahir pada bulan Ramadhan, tapi yang rajih (lebih kuat) adalah bulan Rabi’ul Awal. Adapun tanggalnya ada 4 pendapat, ada yang menyebutkan beliau lahir pada 2 Rabi’ul Awal, 8 Rabi’ul Awal, 10 Rabi’ul Awal, dan 12 Rabi’ul Awal. Belum ada kesepakatan antara pendapat tersebut, tapi pendapat yang masyhur / terkenal (bukan yang kuat / rajih), bahwa beliau lahir pada 12 Rabiul Awwal. Hari kelahiran beliau yang pasti adalah Senin, itu adalah yang pasti, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, ketika Rasulullah  S.A.W.  ditanya tentang kenapa kita berpuasa di hari Senin:




فيه ولدت وفيه أنزل علي
 
“Di hari Senin itulah aku dilahirkan, dan di hari Senin pula aku pertama kali diberi wahyu (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala).”

Kisah yang disampaikan pada bagian ini, mulai dari kisah kelahiran Nabi Muhammad SAW hingga persusuan beliau, termasuk peristiwa / kisah pembelahan dada Nabi Muhammad SAW oleh Malaikat Jibril.
Nabi Muhammad SAW (setelah persusuan bersama ibu susu, Halimatus Sa’diyah) tinggal bersama ibu kandungnya sampai berumur 6 tahun. Namun, setelah Rasulullah  S.A.W. tinggal bersama ibu kandungnya, Aminah, ia ingin mengajak anaknya untuk menziarahi kubur ayahnya di Madinah. Beliau pergi dengan jarak sekitar 500 kilometer bersama anaknya, Muhammad, juga pembantunya, Ummu Aiman, serta kakeknya, Abdul Muththalib. Lalu tinggal di Madinah sekitar 1 bulan. Setelah itu, tatkala kembali ke Makkah, ibunda beliau meninggal, yaitu di Abwa’, antara Makkah dan Madinah.

Mari simak selengkapnya penjelasan mengenai ceramah Faedah Sirah Nabawiyah: Kisah kelahiran Nabi Muhammad SAW dan persusuan beliau – bagian ke-2 – hingga meninggalnya ibunda Nabi, Aminah – Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.


Hikmah Qurban - Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail








Beberapa hari lagi seluruh umat Islam di dunia merayakan sebuah perayaan yang agung. Yaitu perayaan Idul Adha. Mengingatkan kepada kita sebuah kisah yang besar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan di dalam Al-Qur’an. Kisah penyembelihan yang agung, penyembelihan yang dilakukan oleh Nabi dan kekasih Allah -yaitu Nabi Ibrahim ‘Alaihish Shalatu was Salam- yang diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anak kesayangannya, anak yang telah ia tunggu bertahun-tahun. Namun ternyata ketika diberikan oleh Allah anak, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya.
Hati siapa yang tidak akan merasa bersedih ketika ia diperintahkan untuk menyembelih anak yang paling ia sayangi? Hati siapa yang tidak akan merasa berat menghadapi perintah yang sangat pahit seperti itu?

Namun itulah saudaraku..
Keimanan yang berbicara, ketundukan dan kepatuhan (taslim) yang sangat sempurna kepada Allah Rabbul Izzati wal Jalalah. Ketika Nabi Ibrahim mengemukakan mimpinya itu kepada anaknya yang bernama Ismail:

إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ
Wahai anakku, aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelih engkau, bagaimana pendapatmu, nak?” (QS. Ash-Shaffat[37]: 102)

Apa jawabannya?
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّـهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Wahai ayahku, lakukan saja apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu. Engkau akan mendapati aku insyaAllah termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat[37]: 102)

Subhanallah.. Kisah yang sangat agung, saudaraku.. Ini menggambarkan betapa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah dua Nabi yang sangat tunduk kepada Allah.





Baca Juga : Istiqomah Beribadah Setelah Ramadhan


Ummatal Islam, ...

Allah memerintahkan kita segala macam perintah, semua ujian untuk kita, agar Allah melihat siapa yang mau tunduk kepadaNya dan siapa yang membangkang dan bersombong diri. Terkadang ujian Allah adalah perkara sesuatu yang sangat kita tidak sukai. Yang terkadang seorang hamba dengan ujian-ujian itu timbul di hatinya berburuk sangka kepada Rabbnya. Itulah kadar keimanan dia, saudaraku.


Mari Simak selengkapnya penjelasan mengenai Hikmah Qurban - Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. :




<<SUMBER


Istiqomah Beribadah Setelah Ramadhan

Setelah kita selesai bulan Ramadhan, kita melaksanakan puasa sebulan penuh, segera kita pun melaksanakan puasa berikutnya yaitu puasa Syawal dan amalan-amalan shalih yang lainnya. Dan ini adalah pendapat kebanyakan para ulama tafsir. Dan dua pendapat tersebut sebetulnya tidak bertentangan sama sekali. Karena orang yang mencari dunia tiada lain adalah untuk mencari kehidupan akhirat apabila ia niatkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Seseorang yang mencari nafkah, kalau ia tujuannya adalah untuk mencari nafkah yang Allah wajibkan kepada dia, untuk menafkahi anak dan istrinya maka itu menjadi pahala di sisi allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang yang melakukan perbuatan yang sifatnya duniawi, apabila itu memang tujuannya karena Allah, di jalan Allah dan sesuai dengan syariat Allah, maka itu bernilai ibadah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.



















Baca Juga : Keutamaan bulan sya’ban


Manusia, Allah ciptakan untuk ibadah. Maka kita berusaha untuk berpindah dari satu ibadah kepada ibadah berikutnya. Apabila kita telah selesai dalam ibadah mencari nafkah, kita berusaha mencari ibadah yang lainnya. Yaitu dengan berusaha banyak berdzikir kepada Allah, dengan shalat, dengan membaca Qur’an dan yang lainnya. Apabila kita telah selesai di bulan Ramadhan ini, Alhamdulillah. Dengan karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, segera kita bersiap-siap menuju ibadah berikutnya. Yaitu berpuasa di bulan Syawal. Kemudian setelah Syawal, berikutnya kita akan menjelang bulan-bulan haram, Dzulhijjah, Dzulqa’dah dan Muharram. Tiga bulan haram yang sangat mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang sangat diperintahkan kita untuk banyak berbuat kebaikan di dalamnya.



Mari Simak selengkapnya penjelasan mengenai Istiqomah Beribadah Setelah Ramadhan rekaman khutbah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.:



<<SUMBER


Malam Lailatul Qadar


Salah satu permasalahan yang sangat penting adalah Lailatul Qadar, suatu malam yang merupakan impian setiap muslim untuk bisa beribadah di malam tersebut dan berusaha mendapatkan keberkahan. Malam yang Allah menyebutnya lebih baik dari seribu bulan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ، لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
 “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS Al-Qadr [97]: 1-3)

 












(Foto oleh Sindre Strøm)



Maknanya adalah barangsiapa yang beribadah di malam tersebut, baik itu shalat malam, bertilawah Al-Quran, atau ibadah yang lainnya di malam tersebut, maka ibadahnya lebih baik daripada ia beribadah selama seribu bulan yang tidak ada lailatul qadarnya. Ini merupakan karunia yang Allah berikan kepada kaum muslimin.

Baca Juga : Keutamaan bulan sya’ban


Oleh karenanya kaum muslimin senantiasa berusaha dan berlomba-lomba untuk bisa menggapainya.

Mari Simak selengkapnya penjelasan mengenai Malam Lailatul Qadar dalam rekaman kajian Mutiara Sahur bersama Ustadz Abu ‘Abdil Muhsin Firanda Andirja, M.A.:


 <<SUMBER

Pilihan

Terbaru

TABLIGH AKBAR - MAULID NABI MUHAMMAD ﷺ SAW 1447 H / 2025 M

    PANITIA HARI BESAR ISLAM DKM JAMI’ AL-HIKMAH RW.05 Mengundang Muslimin & Muslimat Warga RW. 05 & Sekitarnya Dalam Rangka Acara :...

IMAAM QU'RAN RECITATION ( Sheikh Maher Al Muayqili ByHaramain Recordings )